PERLAWANAN RAKYAT DI BERBAGAI DAERAH DALAM MENENTANG
KOLONIALISME
1.Perlawanan Rakyat Maluku di Bawah Ahmad Matullesi (1817)
Sejak
abad ke-17 perlawanan rakyat Maluku terhadap Kompeni sudah terjadi,
namun perlawanan yang dahsyat baru muncul pada permulaan abad ke-19, di
bawah pimpinan Ahmad Matulessi (lebih dikenal dengan nama Pattimura).
Latar
belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya
tekanan-tekanan yang berat di bidang ekonomi sejak kekuasaan VOC juga
dikarenakan hal sebagai berikut.
a.
, yakni adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat
kehidupan rakyat, seperti system penyerahan secara paksa, kewajiban
kerja blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin,
dendeng dan kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan
rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari
karena belum terbiasa.
b. , yaitu
adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah dan
gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke
Batavia. Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan
pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku. Oleh karena itu, rakyat
Maluku bangkit dan berjuang melawan imperialisme Belanda. Aksi
perlawanan meletus pada tanggal 15 Mei 1817 dengan menyerang Benteng
Duurstede di Saparua. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya
Benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku di bawah pimpinan
Pattimura. Banyak korban di pihak Belanda termasuk Residen Belanda, Van
den Berg ikut terbunuh dalam pertempuran.
Kemenangan
atas pemerintah kolonial Belanda memperbesar semangat perlawanan rakyat
sehingga perlawanan meluas ke Ambon, Seram dan pulau-pulau lain. Di
Hitu perlawanan rakyat muncul pada permulaan bulan Juni 1817 di bawah
pimpinan Ulupaha. Rakyat Haruku di bawah pimpinan Kapten Lucas Selano,
Aron dan Patti Saba. Situasi pertempuran berbalik setelah datangnya bala
bantuan dari Batavia di bawah pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus
mengadakan penggempuran dan berhasil menguasai kembali daerah-daerah
Maluku. Perlawanan semakin mereda setelah banyak para pemimpin tertawan,
seperti Thomas Matulessi (Pattimura), Anthonie Rhebok, Thomas
Pattiweal, Lucas Latumahina, dan Johanes Matulessi. Dalam perlawanan ini
juga muncul tokoh wanita yakni Christina Martha Tiahahu. Sebagai
pahlawan rakyat yang tertindas oleh penjajah. Tepat pada tanggal 16
Desember 1817, Thomas Matulessi dan kawan-kawan seperjuangannya
menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
2.Perlawanan Kaum Paderi (1821–1838 )
Perang
Paderi melawan Belanda berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan Paderi
sendiri sudah ada sejak awal abad ke-19. Di lihat dari sasarannya,
gerakan Paderi dapat dibagi menjadi dua periode.
a. Periode 1803–1821 adalah masa perang Paderi melawan Adat dengan corak keagamaan.
b. Periode 1821–1838 adalah masa perang Paderi melawan Belanda dengan corak keaga-
maan dan patriotisme.
Sejak
tahun 1821 saat kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji
Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang, gerakan Paderi melawan kaum Adat
dimulai. Kaum Paderi berkeinginan memperbaiki masyarakat Minangkabau
dengan mengembalikan kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Islam yang
sebenarnya. Padahal kaum Adat justru ingin melestarikan adat istiadat
warisan leluhur mereka.
Adat yang
selama itu dianut dan yang menjadi sasaran gerakan Paderi adalah
kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti menyabung ayam, berjudi, madat, dan
minum-minuman keras. Terjadilan perbenturan antara kaum Adat dengan kaum
Paderi. Kaum Adat yang merasa terdesak, kemudian minta bantuan kepada
pihak ketiga, yang semula Inggris kemudian digantikan oleh Belanda
(berdasarkan Konvensi London).
Perang
Paderi melawan Belanda meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya
menduduki Semawang pada tanggal 18 Februari 1821. Masa Perang Paderi
melawan Belanda dapat dibagi menjadi tiga periode.
a.
Periode 1821–1825, ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh
daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi
menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan
tempat-tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua
belah pihak. Tuanku Pasaman kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau.
Sebaliknya, Belanda yang telah berhasil menguasai Lembah Tanah Datar,
kemudian mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar (Fort Van den
Capellen).
b. Periode 1825–1830,
ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Paderi perlu menyusun
kekuatan, sedangkan pihak Belanda baru memusatkan perhatiannya
menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.
c.
Periode 1830–1838, ditandai dengan perlawanan di kedua belah yang makin
menghebat. Pemimpin di pihak Belanda, antara lain Letkol A.F. Raaff,
Kolonel de Stuer, Mac. Gillavry dan Elout, sedangkan di pihak Paderi
ialah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku nan Gapuk, Tuanku
Hitam, Tuanku Nan Cerdik dan Tuanku Tambusi.
Pada tahun 1833, Belanda mengeluarkan Pelakat Panjang yang isinya, antara lain sebagai berikut.
a.Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak yang berat dan kerja rodi.
b.Belanda akan bertindak sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar penduduk.
c.Penduduk boleh mengatur pemerintahan sendiri.
d.Hubungan dagang hanya diperbolehkan dengan Belanda.
Belanda
menjalankan siasat pengepungan mulai masuk tahun 1837 terhadap Benteng
Bonjol. Akhirnya, Benteng Bonjol berhasil dilumpuhkan oleh Belanda.
Selanjutnya, Belanda mengajak berunding kaum Paderi yang berujung pada
penangkapan Tuanku Imam Bonjol (25 Oktober 1837). Setelah ditahan,
Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon (1839), dan
tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga wafat tanggal 6 November
1864.Perlawanan kaum Paderi kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusi.
Setelah Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke
tangan Belanda. Itu berarti seluruh perlawanan dari kaum Paderi berhasil
dipatahkan oleh Belanda.
3.Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825–1830)
Pengaruh
Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah kuat pada
permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda
telah menimbulkan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian
menimbulkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.
a.Adanya
kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang
makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki
tangan Belanda).
b.Adanya kebencian rakyat pada umumnya dan para petani khususnya akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
c.Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
d.Sebagai sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pertempuran
perrtama meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah
pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir
ke Dekso. Di daerah Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh
Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup kuat. Kabar mengenai
pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke berbagai daerah. Dengan
dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta oleh Kiai Mojo, di Kedu
oleh Kiai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain maka pada
pertempuran-pertempuran tahun 1825–1826 pasukan Belanda banyak terpukul
dan terdesak.
Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain sebagai berikut.
a.Siasat benteng stelsel, yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun 1827.
b.Siasat bujukan agar perlawanan menjadi reda.
c.Siasat pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat menang-
kap Pangeran Diponegoro.
d.Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.
Dengan
berbagai tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan
tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario
Prangwadono (tertangkap 19 Januari 1827), Pangeran Serang, dan
Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827, Pangeran Mangkubumi (menyerah 27
September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24
Oktober 1829). Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran
Diponegoro.
Melihat situasi yang
demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat.
Jenderal de Kock melakukan tipu muslihat dengan mengajak berunding
Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji apabila perundingan gagal maka
Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar janji
tersebut, Diponegoro mau berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada
tanggal 28 Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga Pangeran
Diponegoro ditangkap ketika perundingan mengalami kegagalan. Pangeran
Diponegoro kemudian di bawa ke Batavia, dipindahkan ke Menado, dan pada
tahun 1834 dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya pada tanggal 8
Januari 1855.
4Perlawanan di Kalimantan Selatan (1859–1905)
Di
Kalimantan Selatan, Belanda telah lama melakukan campur tangan dalam
urusan Istana Banjar. Puncak kebencian terhadap Belanda dan akhirnya
meletus menjadi perlawanan, ketika terjadi kericuan pergantian takhta
Kerajaan Banjar setelah wafatnya Sultan Adam tahun 1857. Dalam hal ini
Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar.
Rakyat
tidak mau menerima sebab Pangeran Hidayat yang lebih berhak dan lebih
disenangi rakyat. Pertempuran rakyat Banjar melawan Belanda berkobar
pada tahun 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Dalam pertempuran
ini Pangeran Hidayat berada di pihak rakyat. Tokoh-tokoh lain dalam
pertempuran ini, antara lain Kiai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji
Buyasin, Tumenggung Suropati, dan Kiai Langlang. Pasukan Antasari
menyerbu pos-pos Belanda yang ada di Martapura dan Pangron pada akhir
April 1859. Di bawah pimpinan Kiai Demang Leman dan Haji Buyasin pada
bulan Agustus 1859 pasukan Banjar berhasil merebut benteng Belanda di
Tabanio. Ketika pertempuran sedang berlangsung, Belanda memecat Pangeran
Hidayat sebagai mangkubumi karena menolak untuk menghentikan
perlawanan.
Pada tanggal 11 Juni
1860 jabatan sultan kosong (karena Sultan Tamjidillah diturunkan dari
takhtanya oleh pihak Belanda, Andresen) dan jabatan mang-kubumi
dihapuskan. Dengan demikian, Kerajaan Banjar dihapuskan dan dimasukkan
dalam wilayah kekuasaan Belanda. Pertempuran terus meluas ke berbagai
daerah, seperti Tanah Laut, Barito, Hulu Sungai Kapuas, dan Kahayan.
Dalam menghadapi serangan-serangan ini, Belanda mengalami kesulitan,
namun setelah mendapatkan bantuan dari luar akhirnya Belanda berhasil
mematahkan perlawanan rakyat. Pada tanggal 3 Februari 1862, Pangeran
Hidayat tertangkap dan dibuang ke Jawa. Pangeran Antasari yang pada
tanggal 14 Maret 1862 diangkat oleh rakyat sebagai pemimpin tertinggi
agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifahtul Mukminin gugur
dalam pertempuran di Hulu Teweh pada tanggal 11 Oktober 1862.
Sepeninggal Pangeran Antasari, perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan oleh
teman-teman seperjuangan. Perlawanan rakyat benar-benar dapat dikatakan
padam setelah gugurnya Gusti Matseman tahun 1905.
5Perlawanan di Bali (1846–1905)
Di
Bali timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda, setelah Belanda
berulang kali memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak tawan
karang. Hak tawan karang yakni hak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk
merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaan kerajaan yang
bersangkutan. Telah berulang kali kapal Belanda hendak dirampas, namun
Belanda memprotes dan mengadakan perjanjian sehingga terbebas. Raja-raja
Bali yang pernah diajak berunding ialah Raja Klungklung dan Raja Badung
(1841); Raja Buleleng dan Raja Karangasem (1843). Akan tetapi,
kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda memutuskan untuk
menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.
Dalam
menghadapi perlawanan rakyat Bali, pihak Belanda terpaksa mengerahkan
ekspedisi militer secara besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi
pertama (1846) dengan kekuatan 1.700 orang pasukan dan gagal dalam usaha
menundukkan rakyat Bali. Ekspedisi kedua (1848) dengan kekuatan yang
lebih besar dari yang pertama dan disambut dengan perlawanan oleh I
Gusti Ktut Jelentik, yang telah mempersiapkan pasukannya di Benteng
Jagaraga sehingga dikenal dengan Perang Jagaraga I. Ekspedisi Belanda
ini pun juga berhasil digagalkan.
Kekalahan
ekspedisi Belanda baik yang pertama maupun yang kedua, menyebabkan
pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi ketiga (1849) dengan
kekuatan yang lebih besar lagi yakni 4.177 orang pasukan, kemudian
menimbulkan Perang Jagaraga II. Perang berlangsung selama dua hari dua
malam (tanggal 15 dan 16 April 1849) dan menunjukkan semangat perjuangan
rakyat Bali yang heroik dalam mengusir penjajahan Belanda. Dalam
pertempuran ini, pihak Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut yang
terbagi dalam tiga kolone. Kolone 1 di bawah pimpinan Van Swieten;
kolone 2 dipercayakan kepada La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin
oleh Poland. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng
Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit Bali dan para pemimpin mereka
termasuk I Gusti Jelantik, berhasil meloloskan diri.
Perlawanan
rakyat Bali tidaklah padam. Pada tahun 1858, I Nyoman Gempol mengangkat
senjata melawan Belanda, namun berhasil dipukul mundur. Selanjutnya,
tahun 1868 terjadi lagi perlawanan di bawah pimpinan Ida Made Rai, ini
pun juga mengalami kegagalan. Perlawanan masih terus berlanjut dan baru
pada awal abad ke-20 (1905), seluruh Bali berada di bawah kekuasaan
Belanda.
6.Perlawanan di Aceh (1873–1904)
a.Latar Belakang Perlawanan
Aceh
memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan.
Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena
itu, Belanda berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh
tetap ingin mempertahankan kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871,
Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka. Situasi
ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang ditandatangani
Inggris dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi dari Traktrat
Sumatra 1871 itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda untuk
memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian,
Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh. Karena itu Aceh
berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan hubungan dengan Turki,
Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di Singapura.
Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda
tidak ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan
ultimatum, namun Aceh tidak menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal
26 Maret 1873, Belanda memaklumkan perang kepada Aceh.
b.Jalannya Perlawanan
Sebelum
terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan. Sekitar
3.000 orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang
pasukan disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873,
pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler melakukan
penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14
April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan
disertai pengorbanan besar, yakni tewasnya Mayor Jenderal Kohler.
Setelah
Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan
pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh Syah.
Dengan dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak
mengundang para tokoh dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan
Belanda. Tampilah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng
Bata, Cut Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak
Dien. Serdadu Belanda kemudian bergerak untuk menyerang istana
kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana kesultanan. Dengan
kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh mampu
bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.
Pada
akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara
besar-besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan
kekutan 8.000 orang tentara. Pertempuran seru berkobar lagi pada awal
tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil menduduki istana kesultanan.
Sultan beserta para tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana dan
terus melakukan perlawanan di luar kota. Pada tanggal 28 Januari 1874,
Sultan Mahmud Syah meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yakni
Muhammad
Daud Syah. Sementara itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki,
yaitu Habib Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun 1879 maka kegiatan
penyerangan ke pos-pos Belanda diperhebat. Habib Adurrachman bersama
Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng Bata mengatur taktik penyerangan guna
mengacaukan dan memperlemah pos-pos Belanda.
Menyadari
betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda
berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut
kehidupan sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim
Dr. Snouck Hurgronye (seorang ahli tentang Islam) untuk meneliti soal
sosial budaya masyarakat Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang ulama
dengan nama Abdul Gafar, ia berhasil masuk Aceh.
Hasil
penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers (Orang Aceh). Dari
hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa sultan tidak mempunyai
kekuatan tanpa persetujuan para kepala di bawahnya dan ulama mempunyai
pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat. Dengan demikian langkah
yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik “de vide et impera (
memecah belah dan menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama yang
melawan harus dihadapi dengan kekerasan senjata; kaum bangsawan dan
keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korps pamong praja di
lingkungan pemerintahan kolonial.
Belanda
mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada Belanda.
Pada bulan Agustus 1893, Teuku Umar menyatakan tunduk kepada pemerintah
Belanda dan kemudian diangkat menjadi panglima militer Belanda. Teuku
Umar memimpin 250 orang pasukan dengan persenjataan lengkap, namun
kemudian bersekutu dengan Panglima Polim menghantam Belanda. Tentara
Belanda di bawah pimpinan J.B. Van Heutz berhasil memukul perlawanan
Teuku Umar dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat dan
Panglima Polim menyingkir ke Aceh Timur. Dalam pertempuran di Meulaboh
pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur. Sementara itu,
Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih melakukan perlawanan
di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan penangkapan. Pada tanggal 6
September 1903 Panglima Polim beserta 150 orang parjuritnya menyerah
setelah Belanda melakukan penangkapan terhadap keluarganya. Hal yang
sama juga dilakukan terhadap Sultan Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1904,
Sultan Aceh dipaksa untuk menan-datangani Plakat Pendek yang isinya
sebagai berikut.
1)Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
2)Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan belanda.
3)Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.
Dengan ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.